May 3

0 comments

Pengguna Media Sosisal Dikenakan Pajak? Sini, Teliti Kembali

By admin

May 3, 2024


Beberapa waktu lalu, kita sempat dihebohkan dengan adanya pengenaan pajak atas penggunaan media sosial di suatu negara di benua Afrika. Negara tersebut adalah Uganda. Pengenaan pajak atas penggunaan media sosial tersebut sebenarnya berkaitan atas layanan Over The Top (OTT).

Secara sederhana, istilah OTT berkaitan dengan layanan berbasis teknologi digital. OTT merujuk pada pemanfaatan fasilitas penyedia layanan digital. OTT bertumpu pada saluran penyedia layanan internet, tetapi penyedia layanan internet sama sekali tidak terlibat dalam perencanaan atau penyampaian layanan. Istilah OTT telah diterapkan pada banyak produk dan layanan lain yang menawarkan konten ke pengguna melalui internet sebagai pengganti infrastruktur yang sudah ada sebelumnya (layanan televisi kabel, layanan keuangan, layanan seluler). Banyak layanan OTT yang dijalankan menggunakan media daring seperti Whatsapp, YouTube, Netflix, Apple TV+, HBO, Instagram, dan sebagainya.

Kembali pada penerapan pajak atas penggunaan media sosial. Saat ini, Uganda telah menghapuskan pajak OTT yang diberlakukan beberapa tahun lalu pada penggunaan media sosial. Penerapan pajak tersebut gagal meningkatkan pendapatan dan membatasi penggunaan internet. Penerapan pajak ini menimbulkan kehebohan tidak hanya di dalam negeri Uganda, tapi juga pengguna media sosial di berbagai negara.

Pajak OTT diperkenalkan pada tanggal 1 Juli 2018, yang selanjutnya dikenal luas sebagai pajak media sosial. Pajak ini mengharuskan warga negara Uganda membayar retribusi harian sebesar Uganda Shillings (UGX) 200 (0,05 dolar Amerika Serikat) untuk mengakses lebih dari 50 platform termasuk Facebook, Twitter, dan WhatsApp. Presiden Uganda saat itu, Yoweri Museveni mengarahkan penerapan pajak media sosial sebagai pajak dosa (sin tax) untuk membatasi pengguna media sosial di Uganda atas konsekuensi dari indikasi adanya pendapat, prasangka, atau penghinaan dan sekaligus sebagai sarana untuk meningkatkan pendapatan pemerintah.

Sejak awal, kehebohan terjadi pada masyarakat dan melihat pajak tersebut sebagai salah satu upaya untuk mengekang akses terhadap informasi melalui media sosial. Konsekuensi logis yang disampaikan adalah  pajak tersebut akan berdampak buruk pada ekonomi digital dan ruang sipil digital yang masih baru di negara ini. Upaya penerapan pajak tersebut mengindikasikan pemerintah Uganda berupaya mengendalikan ujaran yang dianggap tidak pantas melalui berbagai media sosial dengan alasan stabilitas negara sekaligus mendulang penerimaan pajak dari kebijakan tersebut.

Dari berbagai tujuan penerapan pajak media sosial, salah satu yang diharapkan oleh pemerintah Uganda adalah pendapatan pajak semakin bertambah dari penerapan pajak tersebut. Pada saat pemerintah mengajukan proposal untuk memperkenalkan pajak media sosial, Kementerian Keuangan Uganda memproyeksikan bahwa hingga UGX 486 miliar (131 juta dolar Amerika Serikat) dapat dikumpulkan setiap tahun pada tahun 2022. Namun, pada akhir Juli 2018, proyeksi tersebut telah direvisi turun menjadi UGX 284 miliar (78 juta dolar Amerika Serikat) per tahun.

Pada bulan Juli 2019, satu tahun setelah diberlakukannya pajak tersebut, Badan yang menangani pendapatan melaporkan bahwa terjadi kekurangan tahunan sebesar 83%, dan hanya mengumpulkan UGX 49,5 miliar (13,5 juta dolar Amerika Serikat). Pada tahun kedua, pajak media sosial hanya menghasilkan 16,3 juta dolar Amerika Serikat.

Pajak atas OTT

Di Indonesia, pengenaan pajak atas pemanfaatan OTT didasarkan pada perolehan penghasilan. Media sosial seperti Instagram, TikTok, WhatsApp, dan lain-lain pada umumnya tidak berbayar. Ketika pemanfaatan OTT sudah menggunakan model monetisasi maka pada saat itu sudah ada komersialisasi untuk memperoleh penghasilan. Hal ini sudah dijelaskan mengenai penghasilan sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker), dan peraturan turunannya.

Penghasilan yang diperoleh ketika menerapkan monetisasi bisa melalui beberapa cara antara lain berbasis langganan (subscription based), berbasis iklan (advertising based), dan berbasis transaksi (transaction based).  Pangsa pasar di Indonesia sangat potensial mendulang konsumen dari berbagai platform. Tentunya, penghasilan melalui pemanfaatan OTT dengan pangsa pasar di Indonesia wajib dikenakan pajak.

Berdasarkan berita dari media daring, terdapat pendapatan sebesar 788 juta dolar Amerika Serikat atau Rp12,2 triliun dari pasar aplikasi Indonesia pada 2023. Angka ini pun meningkat 20% dari pendapatan pada 2022. Adapun TikTok tercatat sebagai platform yang memanfaatkan OTT dengan mengeruk keuntungan paling banyak di Indonesia. Sepanjang 2023, pendapatan aplikasi asal China ini mencapai 34 juta dolar Amerika Serikat atau Rp529 miliar, mengalahkan aplikasi game Bang Bang (31 juta dolar Amerika Serikat).

Melihat besarnya potensi penghasilan yang diperoleh, tidak salah jika Indonesia menerapkan ketentuan yang tegas untuk mengatur pemanfaatan OTT, khususnya yang menjalankan monetisasi, agar penghasilan yang diterima penyedia aplikasi dikenakan pajak di Indonesia sepanjang menerima penghasilan dari kegiatan atau konsumen di Indonesia.

Bukan penggunaan media sosial yang dikenakan pajak, melainkan penghasilan yang diperoleh dari pemanfaatan media sosial, merupakan objek Pajak Penghasilan (PPh) yang tunduk pada ketentuan di Indonesia. Perkembangan dunia digital memang sangat pesat, termasuk pemanfaatan untuk komersial.  Konsekuensi logisnya, layanan berbasis digital merupakan pangsa pasar potensial yang dapat menunjang penerimaan negara berupa mendulang devisa, meningkatkan Produk Domestik Bruto, dan tentunya penerimaan pajak.

 

 

Sumber;Pajak.go.id

About the author

{"email":"Email address invalid","url":"Website address invalid","required":"Required field missing"}

Direct Your Visitors to a Clear Action at the Bottom of the Page