March 22

0 comments

Pajak Artis Emang “Agak Laen”

By admin

March 22, 2024


Beberapa waktu yang lalu saya ingin memesan tiket film Agak Laen, ternyata tiketnya sudah habis dipesan. Apa emang sebagus itu filmnya pikirku. Memang film Agak Laen saat itu sudah mencapai enam juta penonton. Situs berita Detik.com menyebut film ini tembus enam juta pemirsa per 19 Februari 2024.

Saya penasaran dengan euforia yang terjadi terhadap film Agak Laen. Film komedi yang hadir di tengah pesta demokrasi di Indonesia. Mungkin memang perlu ada obat untuk meredakan ketegangan para kontestan dan pendukungnya di Pemilu 2024.

Film Agak Laen diputar menyambut Pemilihan Umum baik Presiden, Legislatif Pusat, maupun Legislatif Daerah berlangsung –di mana para kontestan berkampanye dan penyelenggara pemilu dengan anggaran yang tidak sedikit. Total anggaran Pemilu 2024 sebesar Rp71,3 triliun. Bank Indonesia juga mencatat uang beredar melanjutkan tren positif pada Januari 2024 mencapai Rp8.721,9 triliun.

Saat ini uang sedang mengalir ke kalangan bawah, sehingga menambah daya beli mereka. Industri kreatif termasuk film dapat memanfaatkan hal tersebut untuk berkontribusi lebih dalam perekonomian di Indonesia.

Pertama, uang dari para penonton dibelikan tiket bioskop. Selanjutnya uang tersebut dibagi juga kepada produser film dan tentunya para pegawai bioskop di seluruh Indonesia, yang jumlahnya 500 unit per 2023 menurut Data Indonesia.

Produser film juga membayar para artis, sutradara, dan kru film. Dari keuntungan Film Agak Laen yang saat saya menulis artikel ini sudah mencapai 8,9 juta penonton berdasarkan akun Instagramnya, produser akan membuat karya-karya film selanjutnya. Sehingga roda ekonomi dapat berputar.

Bukan hanya itu, ketika para penonton membeli tiket bioskop terutang pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atau pajak hiburan sebesar 10%. Pajak hiburan ini merupakan pendapatan yang dikelola oleh Pemerintah Daerah setempat. Saat kamu menonton film di bioskop, secara tidak langsung berkontribusi terhadap pembangunan di daerah masing-masing.

Tak cuma pajak hiburan, pendapatan bagi para perusahaan bioskop dan produser film beserta para pegawai, artis, dan sutradara, mereka dipotong pajak penghasilan (PPh) juga. Pajak penghasilan ini disetor dan dikelola langsung oleh Kementerian Keuangan.

Pajak yang dikelola ini tentunya akan balik lagi ke masyarakat melalui Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN). Tak terkecuali bagi industri kreatif sendiri, di tahun 2023 alokasi APBN untuk industri kreatif mencapai Rp1,28 triliun.

Bahkan pemerintah sendiri terus berkomitmen untuk meningkatkan anggaran pada industri kreatif ke depannya. Belanja pada APBN kita sendiri pada tahun 2024 ini dianggarkan sebesar Rp3.325,1 triliun.

Jadi ingat sebuah dialog di Film Agak Laen, “Apa ga kebanyakan tamunya itu Tulang?” tanya Bene ketika ingin melamar Naomi pacarnya. Bene merasakan hal yang agak sulit dipenuhi ketika diajukan permintaan tamu pernikahan sebanyak 1.000 tamu oleh ayah Naomi.

Seperti kondisi APBN kita saat ini, kebutuhan belanja kita banyak akan tetapi perlu diperhatikan bahwa ada keterbatasan dalam pendapatan negara kita. Hal ini yang selalu menjadi perhatian Kementerian Keuangan terutama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mengemban tugas mengelola penerimaan negara di bidang perpajakan.

DJP perlu bekerja lebih keras dan terarah, karena gak bisa-serta merta semua warga negara harus bayar pajak untuk memenuhi APBN. Oleh karena itu DJP perlu memilih siapa yang harus diawasi dalam membayar pajak dan siapa yang tidak perlu membayar pajak.

Film-film Indonesia memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian Tanah Air. Menurut laporan Dampak Ekonomi Industri Layar di Indonesia oleh LPEM FEB UI (2024), industri film di Indonesia berkontribusi pada ekonomi tahun 2022 sebesar 8,2 miliar dolar AS atau Rp130 triliun, kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 5,1 miliar dolar atau Rp81 triliun, dan penciptaan lapangan pekerjaan bagi 387.000 individu. Jumlah yang tidak sedikit bagi sebuah industri kreatif saat ini.

Jika menilik dari laporan tersebut, DJP perlu serius dalam mengupas potensi pajak yang bisa didapat dari kue ekonomi industri layar di Indonesia. Perlu adanya edukasi yang berkelanjutan kepada perusahaan yang berkaitan pada industri tersebut. Melihat pemain bioskop dan produser di Nusantara yang memotong atau memungut pajak dari para penonton dan pekerja kreatifnya tidak banyak untuk dikelola.

DJP dirasa perlu untuk bekerja sama dengan perusahaan industri film. Tujuannya untuk menyosialisasikan hak dan kewajiban para sineas. Tidak cuma itu, DJP juga bisa menjelaskan manfaat dari pajak yang mereka bayar. Seringkali terjadi kesalahpahaman mengenai prosedur administrasi perpajakan oleh para seniman. Bukan berarti mereka salah, tetapi kurangnya penjelasan tata cara pelaksanaan tugas yang belum diketahui oleh masyarakat.

Sebagai wajib pajak orang pribadi dalam industri film, seorang artis menjadi subjek atas penghasilan yang diterima. Sedangkan penghasilannya merupakan objek pajak penghasilan. Seorang artis dapat dikenakan beberapa jenis pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Artis dikenakan PPh 21 jika menerima penghasilan sehubungan pekerjaan, jasa dan/atau kegiatan dari pemberi kerja. Tarif yang dikenakan adalah Pasal 17 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker), atau tarif pajak progresif dari 5%-35%.

Berprofesi sebagai artis juga dapat dikenakan PPh Pasal 23 atas penghasilan dari royalti atau imbalan atas penggunaan hak. Tarif pajaknya sebesar 15% dari royalti. Jika tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), akan dikenakan tarif dua kali lipat dari tarif standar, yakni menjadi 30% dari dasar penghitungan pajak.

Selain itu, jika artis memiliki kegiatan usaha, maka akan dikenakan PPh Final Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Penghasilan dari kegiatan usahanya tersebut dikenakan tarif sebesar 0,5% dari peredaran usaha/omzet brutonya. Jika penghasilan bruto lebih dari Rp4,8 miliar dalam setahun, maka harus menggunakan tarif pajak progresif.

Seluruh penghasilan dari artis tersebut dilaporkan setahun sekali melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Batas waktu penyampaian SPT-nya adalah 31 Maret untuk orang pribadi.

Memang banyak cara menghitung pajaknya artis. Tapi akan lebih mudah jika kita paham kebutuhan para artis untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, yaitu bukti potong dan kemudahan pelaporan pajaknya.

Oleh karena itu, DJP sedang melaksanakan reformasi perpajakan, salah satunya adalah membangun Core Tax Administration System (CTAS atau lebih dikenal dengan istilah Coretax) di mana salah satunya membenahi sistem pelaporan pajak bagi wajib pajak orang pribadi. Data bukti potong sudah real-time, langsung masuk ke data SPT wajib pajak secara prepopulated.

Seperti soundtrack Film Agak Laen yang saat ini menjadi film komedi terlaris sepanjang masa di Indonesia, “Agak laen kau, agak laen sekeluarga”, maka dengan adanya Coretax System DJP yang akan berlaku Juli 2024 nanti ini memang “Agak Laen”. Wajib pajak termasuk para artis dapat melaksanakan kewajiban jauh lebih mudah dan efisien dalam penyampaian SPTnya.

Kepatuhan pajak yang tinggi oleh para sineas tentu akan memberikan peningkatan kontribusi pajaknya. Sebagian pajak yang dibayarkan akan kembali juga kepada mereka melalui program-program pemerintah.

 

 

Sumber;Pajak.go.id

About the author

{"email":"Email address invalid","url":"Website address invalid","required":"Required field missing"}

Direct Your Visitors to a Clear Action at the Bottom of the Page